Sejarah Tahun Baru Imlek

Walaupun di Indonesia Tahun Baru Imlek sudah menjadi Hari Libur Resmi Nasional. Namun, sebagian besar masyarakat belum memahami secara utuh kisah dan perjalanan sejarah dari Tahun Baru Imlek itu sendiri. Saduran tulisan ini, akan berusaha menguak sedikit informasi sekitar sejarah dan asal usul perayaan dimaksud.

Tahun Baru Imlek adalah perayaan terpenting bagi orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa. Dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek, dinamakan dengan Chuxi yang berarti “malam pergantian tahun”.

Di daratan China, budaya dan tradisi masing-masing wilayah menyangkut dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, secara keseluruhan hampir rata-rata merayakannya dengan Jamuan Makan Malam Bersama di malam Tahun Baru Imlek, serta pesta kembang api.

Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan di wilayah yang ditinggali oleh populasi suku Tionghoa. Tahun Baru ini menjadi hari besar bagi semua orang Tionghoa. Begitu juga di negara yang berbatasan langsung, atau mempunyai hubungan langsung dengan suku Tionghoa. Seperti: Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, Jepang (sebelum 1873), Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lainnya yang mempunyai populasi suku Han.

Menurut catatan sejarah Tiongkok. Bahwa, sebelum berkuasanya Dinasti Qin di daratan Tiongkok, tanggal perayaan tahun baru masih belum jelas. Karena ada yang merayakan pada bulan 1 yaitu pada masa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou. Namun, sejak Kaisar pertama China Qin Shi Huang berkuasa, menetapkan bahwa Tahun Baru Imlek berawal di bulan 10 pada 221 SM. Kemudian, sewaktu Kaisar Wu berkuasa yaitu pada tahun 104 SM, ia memerintahkan untuk menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun, hingga sampai saat ini.

Menurut kisah legenda, dahulu kala ada seekor Nián (Raksasa) pemakan manusia, yang datang dari pegunungan, biasanya ia akan muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen rakyat, ternak dan bahkan penduduk desa itu sendiri. Untuk melindungi diri, maka para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada setiap awal tahun. Mereka meyakini, dengan melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.

Pada suatu ketika, ada penduduk yang melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Setelah itu, penduduk percaya bahwa Nian takut dengan warna merah. Sehingga mulai saat itu, setiap memasuki tahun baru maka penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Tradisi tersebut kemudian berkembang menjadi moda perayaan Tahun Baru hingga sekarang.

Di Indonesia, Sejak tahun 1968 s/d 1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Hal itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Serta melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk di antaranya tahun baru Imlek.

Namun, sejak kepemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan tahun baru Imlek, yaitu di mulai pada tahun 2000. Dimana, Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967.

Serta menggantikannya dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Selanjutnya, baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 hingga saat ini.

Sumber : Klik Disini