Banjir menjadi musuh utama setiap hunian. Tak heran, banyak orang mencari lokasi rumah yang bebas dari bencana tersebut.
Namun, lain halnya dengan sepasang suami istri yang seolah malah menyongsong bencana itu. Pasangan tersebut membangun sebuah rumah yang bisa mengapung ketika banjir datang.
Namanya "amphibious house" atau "rumah amfibi". Sesuai namanya, rumah ini bisa hidup di dua alam, yaitu di darat dan air, layaknya hewan amfibi.
Amphibious house, yang dibangun oleh Baca Architects, firma arsitektur terkemuka asal London itu, merupakan sebuah rumah keluarga. Rumah itu dibangun di sebuah pulau di tengah sungai Thames, Inggris.
Baca Architects merancang rumah itu untuk sepasang suami istri yang telah mencari lahan untuk membangun rumah di pulau sungai rawan banjir dekat Marlow, Buckinghamshire, selama tujuh tahun.
"Selama banjir, keseluruhan bagian rumah ini akan mengapung laiknya perahu dan menjaga semua ruangan di dalam rumah agar tetap aman dalam level banjir," ungkap Richard Coutts, salah satu pendiri Baca Architects.
Baca Architects memberikan ruang kosong di bagian bawah rumah sebagai tempat air masuk ketika banjir. Hal ini yang kemudian mampu membuat rumah terapung seperti perahu di atas sungai.
"Daripada membangun rumah anti-banjir, kami lebih memikirkan pendekatan berbeda terhadap banjir. Kami sadar manusia tak bisa mengalahkan alam, maka kami membuat ruang kosong untuk air," ujar Coutts.
Baca Architects mempertimbangkan sejumlah pendekatan berbeda untuk menangani tingkat air tak terduga yang bisa muncul di lahan rumah, termasuk membuat struktur rumah yang mampu sepenuhnya mengapung ketika banjir.
Opsi mengangkat rumah juga pernah dipikirkan oleh Baca Architect. Namun, Coutss mengaku menaikkan rumah hampir dua meter dari tanah akan membuat rumah ini lebih tinggi dari tetangga sekitarnya.
"Manfaat dari amphibious house ini adalah tempat tinggal yang sesuai dengan maksud dan tujuan seperti rumah biasa, tetapi dengan keunggulan berbeda ketika banjir melanda," kata Coutss.
Dermaga basah
Struktur bingkai kayu ringan tradisional digunakan dalam rumah ini. Bagian bawah rumah digali untuk membuat "dermaga basah" yang terbuat dari tumpukan lembaran baja dengan jaring untuk memungkinkan air masuk dan keluar secara alami.
Dengan balutanseng zoster dan atap segitiga mengilap, struktur "dermaga basah" ini dibuat terpisah dari rumah. Landasan beton kedap air melingkar di sekitar lantai bawah tanah dan berfungsi seperti lambung kapal.
Coutss mengaku bahwa desain amphibious house ini terinspirasi dari pinsip Archimedes.
*"Volume dan massa rumah kurang dari massa air, dan hal itu yang menciptakan daya apung pada rumah," imbuhnya.
Ada empat tiang, masing-masing dijuluki "lumba-lumba" oleh sang insinyur proyek. Tiang ini bertindak sebagai tonggak penunjuk vertikal yang bisa digeser ke atas dan bawah saat dibutuhkan untuk begerak. Nantinya, tiang ini bisa diperluas untuk mengatasi ketika ketinggian air meningkat.
Menurut Coutss, amphibious house ini telah menjadi sebuah dermaga, seperti Dermaga Liverpool atau Dermaga Royal yang digunakan untuk pemberhentian kapal-kapal. Namun, amphibious house merupakan dermaga versi kecil yang tercipta di atas tanah.
Di tepi sungai, ada sebuah taman sekaligus teras yang berfungsi sebagai "sistem peringatan dini" saat air mulai naik. Begitu dua teras pertama dipenuhi air, maka rumah harus mulai naik.
"Di depan rumah, kita membuat sesuatu yang kita sebut intuitive landscape. Itu merupakan sistem peringatan dini bagi penghuni rumah untuk segera menggerakkan rumah agar tak kemasukan air," kata Coutss.
Amphibious house dirancang untuk mampu naik sampai dua setengah meter. Ukuran ini berdasarkan prediksi skenario banjir terburuk dari Badan Lingkungan Hidup.
Segala bentuk layanan dalam rumah ini dihubungkan melalui "kabel belalai gajah", yaitu sebuah kabel fleksibel yang membawa listrik, air, dan saluran pembuangan. Demi alasan keamanan, rumah tersebut hanya menggunakan listrik, tanpa gas sama sekali.
Tentu saja, karena pulau tempat rumah ini berdiri tanpa akses jalan raya, para arsitek menggunakan peralatan militer NATO untuk membangun sebuah ponton terapung. Ponton tersebut berfungsi sebagai "rantai feri" untuk membawa material rumah.
Ada enam anak tangga yang mesti dilewati untuk bisa mencapa lantai dasar yang terangkat ketika banjir. Di dalamnya terdapat fasilitas seperti ruang tamu terbuka dan ruang makan, serta dua kamar tidur. Sementara itu, sebuah lantai mezanin melengkapi kamar tidur utama dengan kamar mandi en-suite dan ruang sauna.
Terinspirasi?