Buah Impor Berformalin Masuk Indonesia

Buah Berformalin

Pemberian formalin umum dilakukan pada anggur, jeruk, apel, dan ikan impor; Pewarnaan biasanya dilakukan terhadap pir, mangga, belimbing, pisang, jeruk dan semangka impor.

Pembatasan pintu pemasukan impor sayur dan buah perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari produk berkualitas rendah.

Menurut Kepala Pusat Karantina Tumbuhan Kementerian Pertanian (Kementan), Arifin Tasrif, Indonesia menjadi keranjang sampah bagi produk pertanian dari negara lain. Ironisnya, produk tersebut berkualitas rendah dan sering tidak laku di negara lain.

Hal itu patut diwaspadai karena banyak yang tidak layak dikonsumsi karena kandungan logam beratnya sangat tinggi.

"Saat ini saja satu dari 1.000 orang di Indonesia menderita autis. Jika impor tidak ditekan, maka jumlahnya bisa meningkat," kata Arifin di sela sarasehan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Jombang, seperti ditulis laman beritasatu.com, Jumat (27/01).

Dari total volume impor buah, diperkirakan 1.000 ton lebih ditolak karena mengandung bahan berbahaya di atas ketentuan.

Sebagian besar produk berformalin adalah kacang tanah dan pir.

"Baru-baru ini, Badan Karantina telah memusnahkan berbagai macam apel berformalin di Sulawesi Selatan," kata Arifin.

Menurut Arifin, harus ada political will dari pemerintah untuk menekan impor buah, sekaligus melindungi konsumen.

Pengaturan Impor Buah dan Sayur
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permentan) nomor 80, 89, 90 Tahun 2011 tentang pengaturan impor buah dan sayur.

Arifin menilai Permentan tersebut tidak melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena pemerintah tidak melarang impor, tetapi hanya mengatur pintu masuknya, sepanjang pintu tersebut bisa menjadi jalur internasional.

Hal yang sama juga dilakukan negara-negara lain.

Di Eropa misalnya, pintu masuk impor dari seluruh dunia hanya melalui Rotterdam.

Ekspor produk pertanian Indonesia juga sangat sulit masuk ke negara lain.

Misalnya, manggis Indonesia sudah tujuh tahun belum berhasil masuk ke Australia.

"Sebenarnya ini mencontoh negara lain," kata Arifin.

Dengan pembatasan itu, diharapkan impor buah dan sayur bisa ditekan secara signifikan.

Salah satunya adalah karena biaya yang harus dikeluarkan importir akan jauh lebih besar.

Jika biaya distribusi dilakukan dari Pelabuhan Tanjung Priok hanya membutuhkan Rp 3 juta per kontainer.

Tetapi biaya distribusi dari Surabaya akan mencapai Rp 12 juta dan Makasar Rp 30 juta per kontainer.

"Biarkan saja mahal, nantinya akan berpengaruh kepada harga produk impor sehingga bisa mengangkat daya saing buah lokal," kata Arifin.

Satu Pintu Masuk
Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Koperasi, Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Soeryo Bawono, mengatakan, sebagai negara kepulauan, pihaknya sangat mendukung pembatasan pintu pemasukan, bahkan seharusnya hanya dibuka satu pintu di Pelabuhan Bitung karena sudah dipersiapkan sebagai pelabuhan internasional.

"Upaya ini akan mengurangi penyelundupan. Pemerintah memang harus melindungi petani," tutur dia.

Menurut Soeryo, kebijakan tersebut bukannya tidak fair karena negara lain juga menerapkan hal yang sama.

Selain itu, Permentan tersebut bertujuan melindungi masyarakat dari produk tidak berkualitas sebab buah dan sayur impor bisa bertahan lama pasti melalui perlakuan-perlakuan khusus, seperti pemberian formalin dan pewarnaan (kuningisasi).

Pemberian formalin umum dilakukan pada anggur, jeruk, apel, dan ikan impor.

Sedangkan pewarnaan biasanya dilakukan terhadap pir, mangga, belimbing, pisang, jeruk dan semangka impor.

Soeryo mengatakan, jika Permentan itu benar-benar dilaksanakan, impor buah dan sayur pada tahun pertama bisa turun 30 persen.

Hal itu mungkin akan memicu protes dari pengusaha, tetapi mereka harus mencari jalan keluar.

"Pembatasan pintu masuk itu adalah kompromi terbaik karena seharusnya ditutup sama sekali," kata Soeryo.

Untuk menghidupkan buah lokal, kata Soeryo, ke depan dana talangan untuk pembelian buah lokal perlu dihidupkan kembali oleh Bank Indonesia (BI).

Hal itu memungkinkan toko moderen melakukan pembayaran tiga bulan ke depan saat membeli buah lokal.

Sebelumnya, pembelian buah lokal bisa dilakukan belakangan.

Setelah dana talangan dihapus, pembayaran harus dimuka karena petani butuh uang untuk bertanam.

Salah satu alasan buah impor bisa memenuhi pasar moderen adalah pembayaran bisa dilakukan belakangan.

"Toko modern tidak bisa disalahkan karena mereka berbisnis. Pemerintah yang seharusnya tanggap," kata Soeryo.

Penulis: ID/Alina Mustaidah/DAS