Hj. Fatmawati, Penjahit Bendera Pusaka


Fatmawati, Sosok Panutan Ibu Indonesia

Dari hasil karya tangannyalah tercipta bendera merah putih yang dikibarkan pertama kali pada saat proklamasi kemerdekaan. Ia pula yang menjadi pendamping perjuangan Soekarno membawa bangsa ini menuju kemerdekaan.


Ada sosok wanita cerdas yang berada di balik kesuksesan seorang pria. Begitu pula peran dan jasa-jasa Proklamator RI Soekarno tidak terlepas dari peran serta sang istri, Fatmawati. Perempuan kelahiran Pasar Padang, Bengkulu pada 15 Februari 1923 ini berasal dari keluarga tokoh Muhammadiyah. Ia menempuh pendidikan dasarnya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan kemudian melanjutkan ke sekolah kejuruan yang dikelola oleh sebuah organisasi Katolik.

Minat berorganisasi telah ada sejak Fatmawati duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu ia sudah aktif berorganisasi sebagai anggota pengurus Nasyiatul Aisyiah, sebuah organisasi yang bernaung di bawah Muhammadiyah.

Perkenalannya dengan Bung Karno berawal ketika tokoh pergerakan itu dipindahkan oleh pemerintah Belanda ke Bengkulu dari tempat pengasingannya di Flores, Nusa Tenggara Timur. Di kota itu Bung Karno mengabdi sebagai seorang guru dan menjadi anggota Muhammadiyah. Fatmawati merupakan salah satu muridnya. Ia kemudian tinggal di kediaman Bung Karno dan isterinya Ibu Inggit Ganarsih.

Bung Karno memutuskan untuk bercerai secara baik-baik dengan Ibu Inggit dan berniat memperistri Fatmawati. Meskipun sudah bercerai, Bung Karno tetap membantu kehidupan Inggit.

Pernikahan Fatmawati dan Soekarno dilangsungkan di Jakarta pada tahun 1943 dalam situasi yang memprihatinkan dan kondisi yang serba tak menentu. Untuk mendampingi sang suami, Fatmawati pun meninggalkan kampung halamannya dan selanjutnya menjalani hidup barunya di Jakarta.

Setahun kemudian, rumah tangga mereka semakin berwarna dengan kehadiran putra pertama yang kemudian diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra. Saat melewati proses kelahiran anak pertamanya, Fatmawati didampingi oleh kedua mertuanya, R. Soekemi Sosrodihardo dan Ibu Ida Ayu Nyoman Rai. Tentu saja, kehadiran Guntur membawa kebahagiaan pada keluarga besar Fatmawati dan keluarga besar Soekarno.

Kekalahan Jepang di setiap pertempuran mulai terdengar sekitar pertengahan Agustus 1945. Puncaknya ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu pada 14 Agustus. Bung Karno dan Bung Hatta yang kala itu dituding sebagai kolaborator Jepang membuat Fatmawati menghadapi masalah yang sangat pelik. Sebagai seorang nasionalis sejati, Fatmawati yakin suaminya tidak mungkin mengkhianati perjuangan bangsa Indonesia.

Apalagi ia pernah menyaksikan saat Soekarno mengajaknya untuk mengikuti sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai (Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wediodiningrat. Pada kesempatan itu, ia melihat betapa bersemangatnya Bung Karno saat menguraikan satu persatu sila-sila dari konsep Pancasila, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan.

Keluarga Soekarno dikejutkan dengan kedatangan sekelompok pemuda bersenjata di suatu malam. Bung Karno dipaksa untuk mengikuti mereka. Ternyata di luar rumah Bung Karno telah ditunggu oleh dua orang rekannya, Syahrir dan Hatta. Ketiganya meninggalkan Jakarta untuk selanjutnya dibawa ke Rengasdengklok. Keesokan harinya, pada 17 Agustus 1945 banyak orang berkumpul di depan kediaman Fatmawati.

Mereka berteriak memanggil Bung Karno agar keluar dari rumah untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Soekarno pun keluar didampingi oleh Hatta beserta sejumlah orang pemuda lainnya. Para pemuda yang telah menunggu kedatangan Soekarno itu kemudian berkata kepada Bung Karno bahwa segala sesuatunya telah dipersiapkan.

Mengetahui hal itu, Fatmawati bergegas mengambil selembar bendera yang sudah ia siapkan. Bendera itu pun dijahitnya sendiri setelah sebelumnya menerima kain dari salah seorang pemuda bernama Chaerul Bisri. Bendera yang kemudian dijadikan sebagai bendera pusaka itu sempat disimpan di Museum Monumen Nasional (Monas).

Bertempat di Pegangsaan Timur, Jakarta sekitar pukul 10 pagi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia resmi dibacakan. Latief Hendraningrat bertindak sebagai komandan upacara, Bung Hatta mendampingi Bung Karno berjalan menuju mikrofon yang sebelumnya telah disediakan Gunawan yang menetap di Salemba Tengah No.24.

Sementara itu istri sang proklamator, Fatmawati bersama dengan S.K Trimutri menuju tiang bendera, tak lama kemudian lagu Indonesia Raya berkumandang. Meski tanpa diiringi alunan musik, semua yang hadir larut dalam perasaan haru bahkan tak sedikit yang mengucurkan air mata bahagia.

Air mata Fatmawati seketika mengalir penuh kebanggaan tatkala pandangannya tertuju ke langit menyaksikan bendera merah putih yang dijahitnya berkibar di bumi pertiwi. Ia tidak menyangka hasil karyanya menjadi kenangan bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Kabinet pertama pimpinan Perdana Menteri Syahrir pun terbentuk dalam kondisi yang serba sulit. Bersama putra sulungnya, Fatmawati dengan setia mendampingi sang suami saat meninggalkan kediaman mereka di Pegangsaan Timur 56 Jakarta untuk hijrah ke Yogyakarta.

Seakan memahami situasi pelik nan berisiko yang saat itu dihadapi kedua orang tuanya, Guntur yang masih berusia satu tahun kala itu tidak rewel apalagi menangis. Di Yogyakarta, pasangan ini kembali dikaruniai buah hati pada tanggal 23 Januari 1946. Anak kedua mereka yang berjenis kelamin perempuan kemudian dinamakan Dyah Permata Megawati Soekarno Puteri. Kelahirannya di petang hari turut ditandai dengan turunnya hujan lebat disertai bunyi halilintar.

Karena atap kamar yang digunakan untuk bersalin mengalami kebocoran membuat air hujan masuk ke dalam rumah. Suasana hari itu begitu mencekam terlebih kelahiran anak kedua mereka terjadi di tengah gemuruh perjuangan bangsa.

Setelah perang berakhir yang ditandai dengan perundingan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas RI, Fatmawati sekeluarga akhirnya dapat kembali ke Jakarta. Di tempat yang kini dikenal dengan nama Istana Merdeka itu, Bung Karno menyampaikan pidatonya. Seusai berakhirnya situasi perang yang menegangkan, Fatmawati mulai menjalani rumah tangganya dengan lebih tenang. Dengan setia ia mendampingi Bung Karno beberapa kali ketika melakukan kunjungan ke beberapa negara tetangga.

Rumah tangga Fatmawati dan Bung Karno kembali disemarakkan dengan kehadiran anak ketiga mereka yang diberi nama Dyah Permana Rachmawati pada 27 September 1951. Saat Rachmawati masih berusia 3 bulan, Bung Karno sekeluarga menjadi tamu negara dan menginap di Istana Malacanang atas undangan Presiden Philipina.

Bung Karno selalu menyambut kelahiran anak-anaknya dengan suka cita, hal itulah yang membuat Fatmawati merasa bahagia. Putri mereka yang keempat yakni Dyah Mutiara Sukmawati dilukiskannya bagai puteri berambut ikal seperti puteri Maluku dengan bola mata yang indah jika melihat sesuatu.

Setelah tiga kali berturut-turut dianugrahi anak perempuan, keinginan Fatmawati memiliki anak laki-laki terkabul pada 13 Januari 1953. Namun, kelahiran sang putra bungsu yang telah lama ditunggu bernama Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra membuatnya mengalami pendarahan hebat. Oleh karena itu, dokter kemudian menyarankannya untuk tidak mempunyai anak lagi.

Pada saat Sukarno meminta ijin untuk menikahi seorang wanita bernama Hartini, Fatmawati masih berada dalam proses penyembuhan dari sakit setelah melahirkan Guruh. Mendengar niat suaminya itu, perasaan Fatmawati seketika remuk redam. Meski hatinya hancur, ia dapat memahami keinginan sang suami. Fatmawati kemudian meminta Bung Karno untuk mengembalikannya kepada orang tua serta menyelesaikan permasalahan dengan segera.

Poligami di mata Fatmawati menginjak-injak martabat wanita oleh karena itu ia tetap berpegang pada prinsipnya, menolak poligami. Meskipun sang suami mengaku masih mencintainya namun akhirnya dengan segala kerelaan Fatmawati memilih berpisah dengan Bung Karno. Demi mempertahankan prinsipnya, ia berani menerima segala konsekuensi yang teramat berat.

Setelah berpisah dengan Soekarno, ia meminta dicarikan sebuah rumah. Akhirnya ia menempati sebuah paviliun di jalan Sriwijaya, berdekatan dengan Masjid Baitul Rachim. Istana Negara yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, ditinggalkan menuju tempat tinggalnya yang baru.

Hasil usaha dan keterampilannya sendiri di kemudian hari membuat Fatmawati pada akhirnya dapat membeli rumah di Jalan Sriwijaya. Putra putrinya tetap tinggal di Istana Merdeka sementara sang ibu tinggal seorang diri di rumah itu.

Fatmawati menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Mei 1980 di General Hospital Kuala Lumpur usai menunaikan ibadah Umroh di Mekah. Ia terkena serangan jantung saat pesawat yang ditumpanginya singgah di Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet, Jakarta.

Mantan ibu negara ini menjadi sosok wanita yang patut diteladani karena gigih mempertahankan prinsipnya. Ketika menjalankan perannya sebagai seorang ibu, ia mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Begitu pula ketika berperan sebagai isteri dari seorang pemimpin seperti Bung Karno, ia jalankan dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Sebagai perempuan yang anti poligami ia memegang prinsip bahwa poligami hanya merendahkan martabat perempuan. Karena teguh berpegang pada prinsipnya itu, ia rela hidup dalam kesendirian dan membuktikan kepada semua orang bahwa ia adalah sosok perempuan mandiri.

Atas jasa-jasanya pada negara, Hj. Fatmawati diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 118/TK/Tahun 2000, tanggal 4 November 2000. e-ti
Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensklopedi Tokoh Indonesia)

Nama:

Hj. Fatmawati
Gelar kepahlawanan:
Pahlawan Nasional (SK Presiden Republik Indonesia No.118/TK/Tahun 2000, tanggal 4 November 2000)
Lahir:
Pasar Padang, Bengkulu, 15 Februari 1923
Meninggal:
Kuala Lumpur, 14 Mei 1980
Makam:
Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet, Jakarta
Suami :
Ir. Soekarno (menikah tahun 1943)
Anak:
• Muhammad Guntur Soekarno Putra, 1944
• Dyah Permata Megawati Soekarno Puteri, 23 Januari 1946
• Dyah Permana Rachmawati, 27 September 1951
• Dyah Mutiara Sukmawati
• Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra, 13 Januari 1953
Pendidikan:
- HIS (Hollandsch Inlandsche School)
- Sekolah kejuruan yang dikelola oleh sebuah organisasi Katolik
Organisasi:
Anggota pengurus Nasyiatul Aisyiah
Perjuangan:
Menjahit bendera merah putih yang pertama
Sumber:
Buku “Jejak-Jejak Pahlawan” edisi revisi II 2007 terbitan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia