Bagaimana Kristen-Muslim Temukan Damai?
NEW YORK, KOMPAS.com — Beberapa jam setelah serangan teroris yang menewaskan 21 orang di sebuah Gereja Koptik di Aleksandria, Mesir, Sabtu (1/1/2011), Paus Benediktus XVI mengumumkan bahwa ia akan mengadakan pertemuan antaragama pada Oktober mendatang di Asisi, Italia. Pada pertemuan para pemimpin agama itu akan dibahas bagaimana agama bisa mempromosikan perdamaian dunia.
Hal itu akan menandai peringatan 25 Hari Doa Sedunia untuk Perdamaian yang mulai diadakan Paus Yohanes Paulus II di Asisi pada 26 Oktober 1986. Mengapa Assisi, sebuah kota di Italia Tengah, dipilih? Tentu bukan karena aksesnya ke sebuah bandara. Kota itu dipilih karena merupakan kota asal Santo Fransiskus Asisi, seorang santo yang dicintai di kalangan Kristen karena kemurahan hati dan semangat juangnya bagi perdamaian sebagaimana dicontohkan dalam sebuah pertemuan yang sangat bersahabat antara dia dengan Sultan Malik al-Kamil dari Mesir di tengah-tengah Perang Salib Kelima tahun 1219.
Paul Moses, seorang profesor jurnalisme di Brooklyn College dan The CUNY Graduate School of Journalism, dalam artikel di CNN.com, Minggu, menulis, dengan contoh dari Fransiskus yang menginspirasi orang Kristen dalam dialog antaragama, saatnya untuk mengatakan, Sultan al-Kamil juga bisa menjadi model. Sultan al-Kamil memberikan contoh bagi kaum Muslim untuk menghormati kekudusan Kristen.
Sultan al-Kamil, keponakan dari pejuang besar Muslim, Salah ibn al-Din Yusuf Ayyub, atau Saladin, memimpin Mesir selama sekitar 40 tahun sebagai raja muda dan sultan. Dia berkuasa pada periode yang sulit yang ditandai kelaparan dan serangan oleh kaum Mongol dari timur dan tentara salib dari barat.
Ketika Fransiskus menyeberangi garis musuh untuk mencapai tenda Sang Sultan dekat sungai Nil pada musim panas 1219, Sultan itu memiliki banyak alasan untuk menghentikan seorang pria yang ingin memberitakan iman dari musuhnya. Namun, ia justru memperbolehkan biarawan itu berdikusi bersamanya selama beberapa hari.
Tindakan Sultan itu mercerminkan rasa hormat tradisional kaum Muslim bagi biarawan Kristen, sebuah tradisi yang berasal dari masa Nabi Muhammad, yang bertemu dengan para biarawan Kristen. Dikatakan bahwa beberapa biarawan termasuk kelompok pertama yang mengakui, dalam diri Muhammad ada potensi untuk menjadi nabi. Quran juga berbicara dengan penuh kasih tentang biarawan Kristen dengan mengatakan, mata mereka penuh dengan air mata pengakuan kebenaran akan Allah.
Laporan dari abad Pertengahan dari Gereja Koptik, gereja kuno Mesir, juga memuji Sultan al-Kamil karena toleransinya. Ia memerintahkan untuk mendukung kaum Kristen Koptik ketika terjadi suatu perselisihan tentang apakah membangun sebuah gereja atau masjid di sebuah situs di Kairo. Orang Kristen Koptik gembira dengan berparade di jalan-jalan Kairo pada suatu kesempatan lain ketika ia mendukung mereka dalam sengketa kepemilikan kapal emas dan harta lain yang ditemukan dalam pembangunan sumur di sebuah biara.
Ia juga menangani dengan bijaksana orang Kristen Koptik ketika dipanggil untuk memutuskan sebuah kontroversi di dalam gereja itu tentang siapa yang akan menjadi bapa gereja (pemimpin). Ketika ia mengalahkan tentara Kristen dalam Perang Salib Kelima, ia mengejutkan para tentara salib yang kelaparan dengan memberi mereka makan dan menjamin transportasi mereka ke rumah. Pada saat yang sama, ia adalah seorang Muslim-Sunni yang setia yang membangun sekolah-sekolah keagamaan dan sebuah kubah peringatan indah untuk salah satu ulama besar Islam, Iman al-Syafi'i.
Paul Moses yang menulis buku The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam and Francis of Assisi's Mission of Peace dalam artikelnya menyatakan, "Ketika saya sedang menulis buku tentang pertemuan antara Fransiskus dengan Sultan, saya memulai dengan skeptisisme jurnalistik tentang orang yang berkuasa seperti sultan. (Namun) ia memenangkan saya ketika saya meriset hidupnya. Saya menyadari Sultan al-Kamil adalah seorang negarawan yang tindakan bijaknya sangat dipengaruhi imannya. Pada suatu kesempatan, saya meluangkan beberapa jam dari waktu penelitian saya di Kairo untuk berbicara kepada sekelompok siswa di sekolah perempuan Kristen. Para siswa langsung mengenali Sultan itu ketika saya berbicara tentang dia, menilai dia sebagai seorang pemimpin yang baik baik dan kuat."
Moses berharap, ketika para pemimpin agama dunia berkumpul di kota kelahiran Fransiskus Assisi pada Oktober mendatang untuk membahas bagaimana agama bisa menjadi alat bagi perdamaian, mereka kiranya bisa belajar banyak dari contoh yang telah dilakukan Sultan itu.