Saat saya tulis artikel ini, saya sedang menikmati gerimis di sebuah lokasi di Denpasar, Bali. Karena tidak boleh menyalakan lampu, saya terpaksa mengetik dengan diterangi cahaya monitor laptop seadanya. Karena tidak boleh keluar rumah, maka saya pun mengerjakannya di dalam kamar saja. Ya, saya sedang menikmati hari penting umat Hindu di Bali, dan juga di Indonesia, hari raya Nyepi.
Ini pertama kali saya berada di Bali saat Nyepi. Dan, mudah-mudahan bukan terakhir kali. Sebenarnya “suasana nyepi” bukan hal baru bagi saya karena di Pesantren selain di bulan Romadlon setidaknya dua kali seminggu kami mengadakan i’tikaf bersama. Semacam weekly retreat sebagai latihan rutin kami untuk madul konsultansi dan mendekatkan diri kepada ilahi.
Dalam i’tikaf itu, untuk beberapa jam semua penghuni pesantren harus menangguhkan seluruh aktivitasnya. Mereka kudu hening berdiam diri di masjid dan coba menyatu dalam semayam orbit tauhid dengan tetirah wirid. Ini latihan “bermesraan” dengan Yang Maha Rahman.
Tapi, tetap saja ada gangguan karena yang melakukannya hanya kami di pesantren. Sementara di luar komplek, aktivitas tetap ramai seperti biasa dan menghadirkan kebisingan luar biasa di telinga.
Nah, dalam Nyepi ini ada yang berbeda ketika i’tikaf dilakukan orang satu pulau. Saya mendapatkan banyak findings dalam i’tikaf saya kali ini, di Bali, saat Nyepi.
Nyepi sangat lekat dengan empat larangan atau pantangan. Tanpa pekerjaan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan). Empat tanpa itu lebih dikenal dengan istilah Catur Berata Penyepian.
Pada hari itu umat Hindu secara khusyu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi di masa lampau. Mereka juga merencanakan Trikaya Parisudha, tiga pedoman di masa depan. Tiga pedoman tersebut bertindak sesuai kayika (perbuatan), manacika (pikiran), dan wacika (perkataan). Sebuah proses “monev” suci dan perenungan hubungan pribadi-pribadi dengan sang Pencipta.
Meski menarik dikupas lebih dalam, tapi bukan dalam konteks itu saya ingin berbagi hasil perenungan. Dalam pengalaman pertama saya merasakan suasana Nyepi, potret yang saya ceritakan adalah manfaat substantif Nyepi terkait dengan hajat dan kualitas hidup manusia.
Ketika Nyepi semua orang dilarang menyalakan lampu mulai dari pukul 06.00 sampai jam 06.00 hari berikutnya. Di sini Nyepi memberikan contoh bagaimana praktik menghemat energi, setidaknya selama satu hari penuh. Nyaris tidak ada pemakaian apalagi pemborosan energi. Alam pun seolah tahu hal ini dengan memberikan penerangan cahaya ribuan bintang dan pantulan sinar bulan.
Saya belum menghitung rinci, tapi pastilah banyak energi dan dana bisa dihemat dari larangan ini. Ah, andai saja lebih banyak orang dan daerah melaksanakan ini. Berapa ribu kilowat listrik bisa dihemat dari praktik hidup sehat khas swadaya masyarakat.
Di hari Nyepi semua orang dilarang keluar rumah apalagi berkendaraan di jalan. Meski ada pengecualian untuk orang sakit, tapi tetap saja ada manfaat besar di situ. Hitunglah berapa ribu liter bensin, pertamax dan solar bisa disimpan setelah biasanya dihambur-hamburkan ribuan kendaraan di jalan.
Juga saya bisa rasakan betapa nikmatnya udara penuh oksigen dan bebas dari polusi berbahaya gas buang ribuan kendaraan yang biasanya berlalu lalang. Suara bising kendaraan pun lenyap. Ah, andai saja hal ini lebih sering diselenggarakan. Sekali lagi, seandainya saja.
Untuk menghormati Nyepi, juga ada larangan bunyi-bunyian dan pesta. Tidak seperti daerah lain, di Denpasar café dan diskotek begitu menjamur hampir di setiap kelurahan/banjar. Pada hari biasa, café di lokasi padat penduduk itu menyetel musik jedag-jedug semalam suntuk. Kebetulan saya tinggal di dekat café yang tiap malam disuguhi alunan ribut yang “membangunkan” saya untuk tahajjud.
Yang berbeda, kali ini tidak hanya tahajjud saya bisa berlangsung lega. Tapi suara musik dan suasana café yang biasanya riuh remang, saat itu betul-betul menghilang. Angin pun berdenting hening. Satu lagi gangguan yang diatasi perayaan Nyepi, polusi suara.
Di pagi hari saya disambut kicauan burung menyanyikan chorus indah. Perkutut, kutilang, prenjak, sampai kruwok memainkan alat musik tiup dan nadanya bersama-sama. Dari iramanya, kita bisa mendengar mereka begitu menikmati kebebasan berekspresi setelah berbulan-bulan dibungkam kebisingan manusia. Benar-benar riuh suara mereka tapi justru menghadirkan harmoni alam yang syahdu.
Saat malam datang, saya jelang petang diiringi suara kodok menyanyikan tetabuhan berpadu remix musik etnik lengking suara jangkrik. Mereka joged rapak gendang sambil seolah berteriak lantang, “Aku juga berhak atas bumi ini, wahai manusia”. Ya, di saat manusia berantem tentang haknya, di hari Nyepi, ada makhluk Tuhan selain manusia mendapatkan haknya, animal right-nya.
Selain sepi dari purwarupa suara, kebanyakan orang juga tidak menyalakan televisi selama Nyepi. Meski tidak ada larangan khusus untuk itu, tapi “kesadaran” untuk itu cukup tinggi. Hasilnya, ibu-ibu tidak perlu lagi mendengar gosip murahan infotainment yang bisa mengotori hati.
Konstituen tidak harus menerima suguhan busa-busa lidah para politikus yang menghiasi diskusi-diskusi penuh topeng itu. Konsumen tidak perlu miris menonton iklan-iklan hedonis nan bombastis. Anak-anak juga aman dari tayangan kekerasan. Keluarga terbebas dari sinetron mistik yang membodohi logika dan pentas syahwat yang mengumbar aurat. Meski sebentar, Nyepi menawarkan obyektivitas tanpa bias.
Pasar, mall, dan toko-toko semuanya tutup. Hari ini semua bibir yang biasanya berbohong untuk meyakinkan pembeli, berhenti merugikan pembeli. Kantor-kantor birokrasi juga tutup. Hari ini aksi mark up proyek berhenti. Aksi sogok menyogok yang menjengkelkan seperti dalam iklan sebuah rokok itu juga stop. Praktik korupsi hari ini sementara jeda dari jadwal kerja.
Terminal bus, pelabuhan kapal dan bandar udara juga tidak beroperasi. Hari ini tidak ada penumpang ditipu calo dan dirugikan akibat delay jadwal. Tempat rekreasi dan hiburan semuanya libur. Hari ini pantai melakoni gurah sampah.
Sebagai orang yang awam akan ajaran Hindu, saya tidak tahu doa apa yang dipanjatkan oleh dulur-dulur kita yang sedang semedi di pura-pura maupun di rumahnya. Tapi, saya yakin mereka berdoa untuk kebaikan mereka dan bangsa ini. Maka, untuk kebaikan pulalah saya berusaha memanfaatkan betul keheningan Nyepi ini untuk mendekatkan diri kepada Tuhanku Allah Yang Maha Suci.
Hening, sepi dan suci adalah sebuah suasana ideal untuk nguzla dan i’tikaf. Sebagai Muslim saya tidak berhak ikut ritual keagamaan Hindu. Tapi, Nyepi dalam dimensi dan pemaknaan hakiki telah melibatkan saya dan umat agama lain dalam suasana religius yang harmoni.
Tentu ada hal-hal lain di balik yang saya sebutkan tadi. Seperti anak-anak yang membutuhkan penerangan lampu, tapi toh ada pengecualian untuk mereka yang punya bayi boleh menyalakan lampu. Orang sakit yang membutuhkan pelayanan, toh ada pengecualian rumah sakit tetap bisa beroperasi.
Pekerja atau pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari penghasilan harian, toh mereka bisa merencanakan menyisihkan uang untuk sehari itu, jauh hari sebelumnya. Demikian pula perjalanan untuk kepentingan darurat, ada pengecualian. Sehingga jikapun substansi Nyepi dilaksanakan oleh lebih banyak orang, tidak akan mengganggu kondisi-kondisi khusus tadi.
Dari Nyepi kita bisa menemukan begitu banyak dimensi manfaat yang lebih dari sekedar ritual keagamaan. Seperti halnya puasa dan i’tikaf dalam Islam, Nyepi yang saya rasakan dalam tulisan ini adalah sebuah suasana di mana semua orang secara bersama-sama bersepakat mengekang diri dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Semua demi kebaikan diri, alam dan hubungan dengan Sang Pencipta.
Dalam Islam ada istilah amar ma’ruf atau menyeru pada kebaikan dan nahi munkar atau melarang berbuat kejahatan. Konon amar ma’ruf lebih ringan daripada nahi munkar, karena psikis seseorang ketika disarankan berbuat baik lebih bisa menerima daripada ketika dicegah berbuat salah. Nah, dalam nyepi ini, semuanya berupa nahi/larangan. Sehingga tantangannya besar namun seimbang dengan manfaat yang juga datang.
Ketika energi bisa dihemat, ketika polusi bisa dibabat, ketika kelonggaran maksiat bisa diperketat, ketika korupsi dan manipulasi bisa dicegat, ketika Nyepi memberi banyak manfaat, muncul pertanyaan penuh harap dalam benak saya: mungkinkah “perayaan penuh kesunyian” ini lebih sering kita helat?
Jika saya di pesantren ada kegiatan rutin “nyepi” seminggu dua kali yang kami sebut renungan suci, maka bisalah kita berandai-andai nyepi diadakan sebulan sekali di negeri kita ini. Tidak saja oleh masyarakat Bali tapi di seluruh tanah air kita tercinta.
Dengan niat, cara dan tujuan beragam tergantung keyakinan masing-masing. Asalkan tetap dalam koridor hening, sepi dan penuh aturan mengekang diri. Meski hanya sehari, saya rasa nyepi layak dijalani demi ridlo Ilahi dan harmoni alam yang sejati.
Kalau begitu, bisakah kita usulkan pada diri kita dan para pemimpin negeri untuk mencanangkan gerakan nasional nyepi dalam bingkai kegiatan rutin setiap sebulan sekali”. Mau? Berani?