Revolusi Arab dan Dampaknya pada Israel


HASIL studi pusat kajian strategi Israel berjudul ”Guncangan Timur Tengah dan Keamanan Israel” dirilis pada Sabtu (30/7) oleh situs Aljazeera. Hasil riset tersebut meragukan revolusi Arab melahirkan sistem demokrasi yang hakiki dan dinilai kurang berdampak pada keamanan Israel.

Perubahan di Mesir saat ini dinilai jauh lebih rendah dari yang diperkirakan, ketika terjadi unjuk rasa raksasa di Alun-alun Tahrir untuk menjatuhkan rezim Hosni Mubarak, awal Februari lalu. Menurut hasil studi tersebut, selain jatuhnya rezim Mubarak, tidak ada perubahan besar di Mesir.

Ditegaskan, krisis ekonomi di Mesir sekarang merupakan tantangan utama pemerintah transisi Mesir saat ini dan demikian juga pemerintah mendatang. Ekonomi Mesir sangat bergantung pada empat sektor yang berhubungan dengan Israel, baik langsung maupun tidak langsung. Empat sektor itu adalah pariwisata, ekspor gas, Terusan Suez, serta bantuan ekonomi dan militer dari AS.

Oleh karena itu, menurut hasil studi tersebut, tidak akan ada perubahan signifikan dalam hubungan bilateral Mesir pascarevolusi dan Israel, baik dalam politik maupun ekonomi, kecuali perubahan taktik saja.


Perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel pada tahun 1979 membantu Israel mengurangi anggaran pertahanan dari 30 persen tahun 1974 hingga hanya sekitar 7 persen pada tahun 2010. Penurunan drastis anggaran pertahanan Israel itu mendorong pertumbuhan ekonomi Israel secara fantastis selama lebih dari tiga dekade.

Hasil studi tersebut berharap gagalnya revolusi rakyat di Suriah dan Presiden Bashar al-Assad tetap bertahan di tampuk kekuasaan. Meski Israel-Suriah tidak dalam keadaan damai, Israel merasa nyaman dengan rezim Bashar al-Assad karena Suriah berkomitmen menjaga stabilitas di Dataran Tinggi Golan sejak perang tahun 1967.

Israel juga menganggap tidak akan ada perubahan signifikan dalam hubungan Israel-Suriah jika rezim Bashar al-Assad jatuh di Suriah. Menurut hasil studi itu, siapa pun yang berkuasa di Suriah pasca-Bashar al-Assad tidak akan berani melancarkan perang terhadap Israel karena ketimpangan perimbangan kekuatan yang sangat jauh antara Israel dan Suriah.

Pusat strategi Israel itu meramalkan, kaum Sunni akan berkuasa di Suriah jika rezim Bashar al-Assad ambruk. Bashar al-Assad adalah penganut mazhab Syiah Allawit.

Studi tersebut juga mengharapkan revolusi Arab tidak merambah Jordania. Jika revolusi rakyat terjadi di Jordania, pengaruhnya akan lebih besar terhadap Israel. Diramalkan, jika rezim monarki Raja Abdullah II jatuh, warga Jordania asal Palestina yang mayoritas di negara itu akan berkuasa, dan pada gilirannya akan berdampak besar pada pola konflik Arab-Israel.

Hasil studi itu menyebutkan, peristiwa di Bahrain akan berpengaruh kepada Israel meskipun jarak geografis Israel-Bahrain berjauhan. Disebutkan, jika mayoritas Syiah di Bahrain berkuasa, akan pasti mereka memperkuat hubungan dengan Iran. Hal itu akan mengancam kepentingan AS dan Arab Saudi, dan pada gilirannya mengancam Israel pula.

Hasil studi tersebut mengklaim, suatu hasil positif yang segera dipetik Israel dari revolusi Arab saat ini adalah menyusutnya pengaruh Iran di Timur Tengah, khususnya di Suriah dan Lebanon.

Dalam jangka panjang, tidak menutup kemungkinan Israel lebih bisa diterima di lingkungan kawasan Timur Tengah jika sistem demokrasi lebih kuat tertanam di kawasan itu.

Adapun harian Israel Haaretz mencemaskan kekuatan islamis berkuasa di dunia Arab, di mana Israel harus bersiap menghadapi semua kemungkinan itu.