Alasan Sebuah Acara Musik Tak Menarik Lagi

etika "Harmoni" pertama kali muncul pada awal 2010 silam, saya hampir selalu berusaha menyaksikannya. Bahkan, saking tidak ingin terlambat semenit pun, sering kali saya harus tabah (alias terpaksa) menyaksikan juga sinetron yang biasa disetel persis sebelum jam tayang acara musik itu.

"Harmoni" pada mulanya datang dengan konsep cukup kuat dan ciri khas tersendiri. Acara ini menampilkan kolaborasi musisi dan penyanyi Indonesia — baik yang papan atas maupun pendatang baru. Mereka bernyanyi diiringi Magenta Orchestra pimpinan Andi Rianto, dengan aransemen yang baru, beda, dan sering lebih menarik ketimbang aslinya.
Jam tayangnya pun unik: tiap tanggal 20 pada pukul 22.00 WIB. Dan tidak ada penayangan ulang.


Meskipun mengingatkan pada konsep konser "David Foster & Friends", namun apa yang dihadirkan "Harmoni" pada saat itu terbilang sebuah sajian segar di antara berbagai acara musik televisi di Tanah Air yang hampir seragam konsep dan jam tayangnya.
Sayangnya, acara tersebut semakin lama semakin tidak jelas konsepnya. Ciri khas yang menjadi kekuatannya sejak awal semakin memudar karena tergoda berbagai hal kurang penting. Mulai dari penggunaan tema setiap episode — yang pelaksanaannya kurang pas — hingga pemilihan penyanyi dan lagu yang semakin longgar.

Nuansa promosi dari beberapa lagu baru sering kali tampak begitu nyata.
Ketika "Harmoni" tampil lagi sejak Januari 2011 lalu (setelah berhenti di episode terakhir di Agustus 2010), keistimewaannya yang dahulu tidak serta-merta kembali juga. Rata-rata aransemen yang dihadirkan semakin terdengar tidak jauh berbeda dari musik aslinya, tanpa improvisasi yang signifikan.

Kehadiran beberapa konduktor ternama secara bergantian untuk mengelola lagu-lagu yang dihadirkan setiap episode tetap saja kurang berpengaruh untuk mengembalikan keunggulannya. Waktu tayangnya juga berganti dan tidak unik lagi.
Sekarang, menonton "Harmoni" hampir tidak ada bedanya dengan menyaksikan acara musik televisi lain. Sama-sama tidak menarik.

Godaan tampaknya selalu datang ketika sebuah acara musik yang diadakan secara rutin atau berkala semakin menarik perhatian khalayak. Godaan ini tidak hanya menimpa pertunjukan musik yang diadakan khusus untuk televisi seperti "Harmoni", tetapi juga acara musik yang bersifat. Salah satu contohnya adalah "Jazz Gunung".
"Jazz Gunung" adalah sebuah acara musik jazz etnik yang digelar setiap tahun sejak 2009 di sekitar kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur. Udara dingin dan indahnya pemandangan pegunungan Tengger menjadi latar belakang panggung pertunjukannya.

Saya kebetulan berkesempatan menyaksikan langsung pagelaran "Jazz Gunung" 2011 pada awal Juli lalu. Suasana menonton pertunjukan — yang digelar di ketinggian 2000 meter — itu memang tetap menyenangkan. Tetapi ketika saya membandingkan daftar musisi pengisi acara dengan daftar dua tahun sebelumnya, terlihat kali ini ada semacam godaan kompromi terhadap jenis musik yang ditawarkan, sehingga tak sebatas jazz etnik tapi menjadi lebih pop.

Jika godaan-godaan seperti itu tidak diantisipasi lebih lanjut oleh penyelenggara "Jazz Gunung", bukan tidak mungkin daya tarik acara musik tersebut akan berkurang karena ciri khas yang memudar.

Menurut saya, akan sangat bagus jika setiap penyelenggara pertunjukan musik berkala dapat menyadari dan mempertahankan apa yang menjadi keunggulan atau ciri khas acaranya. Mereka juga seyogianya bisa konsisten memegang konsep acara, tidak tergoda lebih jauh untuk membuat acara mereka jadi "segala ada", serta tidak dengan mudah menerima tawaran dari pihak lain begitu saja.

Jika hal-hal seperti itu diperhatikan dengan baik, sebuah acara musik akan selalu tetap menarik dan berkesan di mata penonton — bahkan tanpa menghadirkan banyak bintang kondang sekali pun. Bukan begitu?