Umat Hindu Rayakan Kemenangan Dharma


Oleh I Ketut Sutika

Ummat Hindu Dharma di Bali mulai bersiap-siap menyongsong Hari Suci Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Hari suci yang mengandung kebangkitan itu dirayakan setiap 210 hari sekali, dan menurut penanggalan pawukon kali ini jatuh pada hari Rabu, Wuku Dunggulan 6 Juli 2011, menyusul Hari Raya Kuningan Sabtu (16/7).

Masyarakat Bali yang bermukim di kota maupun pedesaan sudah melakukan persiapan dengan baik, yang pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan pintu masuk keluarga masing-masing.

Namun, berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya secara lengkap di pasar, sehingga kebanyakan warga membeli modifikasi peralatan penjor yang terbuat dari lontar. Harga satu set penjor berkisar Rp60.000 - Rp300.000, tergantung ukuran dan aneka jenis hiasannya.

Dengan kelengkapan modifikasi itu lebih praktis, karena hanya tinggal mengikat pada bambu, berbeda halnya dengan menggunakan enau atau janur yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghias bambu menjadi penjor.

Sementara yang perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.

Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkontaran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang pada malam hari membuat bebantenan dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.

Oleh sebab itu bahan baku berupa janur, buah-buahan, pisang, daging dan kebutuhan sehari-hari lainnya menjelang Galungan dan Kuningan harganya melonjak.

Ni Wayan Padmini, seorang pedagang sarana upakara di pasar Pemedilan Denpasar mengakui, permintaan terhadap kelengkapan kegiatan ritual seperti "sampian penjor", "lamak" dan "tumpeng kering" meningkat 200 persen dari hari-hari biasa.

Banyaknya permintaan disertai dengan meningkatnya harga berkisar Rp3.000 hingga Rp7.500 setiap itemnya yang terjadi sejak H-7. Meningkatnya harga-harga seperti janur, enau, bambu dan pisang dan keperluan lain untuk hari Raya Galungan dan Kuningan hampir terjadi setiap umat Hindu merayakan hari suci besar itu.

Bahkan harga "Sampian penjor berbentuk tratai" mencapai Rp50.000 per buah, "lamak" Rp20.000/kodi dan "lamak" ukuran besar Rp4.000/buah, janur satu lonjor mencapai Rp20.000- Rp 25.000, dan bambu Rp25.000 per batang.

Meningkatnya harga-harga tersebut bisa disadari, karena dagangan seperti janur dan enau didatangkan dari Banyuwangi, Jawa Timur, karena persediaan yang ada di Bali tidak memadai.

Puluhan truk yang membawa janur, enau dan pisang datang dari Banyuwangi dalam beberapa hari menjelang Galungan, tutur Wayan Sada, seorang pedagang ambu di pasar Ubung.

Ni Wayan Nuryati (45) bersama suaminya dengan sebuah kendaraan menjajakan janur, ambu dan keperluan lainnya dari satu rumah ke rumah lainnya.

Lonjakan harga yang selalu terulang setiap menjelang Galungan dan Kuningan juga terjadi di sektor buah-buahan, daging dan kebutuhan sehari-hari lainnya, namun lonjakan harga tersebut sebenarnya merupakan hasil dari usaha menekan harga dengan mendatangkan janur dari Jawa.

"Kalau hanya mengandalkan janur atau ambu dari produksi di Bali harganya bisa tiga atau empat kali lipat dari harga hari-hari biasa," kata Sunarka.

Biasanya seminggu menjelang hari Raya Galungan di pasar Badung dan sekitarnya paling sedikit membutuhkan janur yang dimuat dalam puluhan buah truk setiap hari dan semuanya selalu habis terjual.

Tampak di mana-mana

Hiasan penjor itu akan tampak di mana-mana saat umat Hindu merayakan Hari Kemenangan Dharma (kebaikan), 6 Juli mendatang. Sementara para wanita mengenakan pakaian adat Bali sambil menjunjung sesajen (sesaji) didampingi suami atau putra-putrinya pergi ke Pura maupun tempat suci milik keluarga (merajan/sanggah).

Hiasan penjor penuh makna menghiasi sepanjang jalan menambah kesemarakan daerah tujuan wisata Pulau Dewata yang tidak pernah sepi dari aktivitas ritual dan budaya. Suasana semarak itu hampir terjadi di semua tempat, baik di perkotaan maupun pedesaan di Bali.

Hari suci Galungan, kata Ketua Program Studi Pemandu Wsata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Doktor I Ketut Sumadi M.Par, selain bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) juga memberikan keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Hari Kemenangan Dharma sekaligus kebangkitan, berarti "tangga" menuju pemusatan pikiran dan kesucian diri, agar umat manusia dalam menjalani kehidupan benar-benar suci dan bersih.

"Pikiran suci akan mampu menghilangkan semua pengaruh yang bisa membawa dampak negatif," kata Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Umat Hindu pada hari baik itu menghaturkan sesaji kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam semua manifestasinya, sebagai perwujudan rasa bhakti dan syukur atas segala kemakmuran yang dilimpahkan-Nya.

Bumi Dewata yang dihiasi penjor, serta tempat-tempat suci dipasangi kain aneka warna pada hari yang "istimewa" itu, bagaikan memancarkan sinar kedamaian, yang mampu memberikan kesejukan pada setiap hati sanubari umat manusia.

Semua itu sebagai cermin merayakan kemenangan atas kebaikan (dharma) dalam mengusir kejahatan (adharma). Umat Hindu di berbagai pelosok pedesaan Pulau Dewata pada Hari Suci Galungan itu, mementaskan kesenian barong, rangda dan jenis kesenian sakral lainnya keliling desa (ngelawang).

Tradisi "ngelawang" yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk mengusir roh-roh jahat, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, mengganggu keamanan Bali.

Abad VIII

Galungan dan Kuningan yang dirayakan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali maupun luar Bali, diawali pada abad kedelapan Masehi.

Konon pada waktu itu, seorang raja yang bernama Mayadenawa dari Kerajaan Bedahulu, Gianyar, bertakhta dengan penuh kezaliman, bengis dan sewenang-wenang, bahkan melarang rakyat melakukan kebaktian.

Penderitaan rakyat memuncak ketika panen gagal, sehingga kelaparan muncul di mana-mana. Rakyat tidak puas terhadap raja, lalu terjadilah pemberontakan yang menelan korban jiwa tidak sedikit.

Raja Mayadenawa dapat dikalahkan, dan sejak itu sebagai tanda kemenangan, peristiwa tersebut dirayakan dan dikenal sebagai Hari Raya Galungan, yakni hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan).

Hari Raya Galungan merupakan momentum bagi umat Hindu untuk meningkatkan kualitas dan memotivasi diri untuk selalu hidup dalam ketekunan bekerja dengan tidak melupakan keselamatan diri maupun lingkungan.

Penyucian diri menyangkut semua aspek yakni kejiwaan (mental dan pikiran), keragaan (sikap dan prilaku) yang harus berjalan dan seimbang serta melaksanakan ajaran agama yang disebut "Tri Kaya Parisuda" yakni berpikir, berkata dan berbuat yang baik.

"Untuk itu, umat Hindu perlu merenungkan makna Galungan, yakni secara sadar bahwa semua anugerah yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Kuasa selama ini dapat mendorong umat untuk lebih meningkatkan perbuatan baik (dharma) di dunia," ujar Ketut Sumadi.

Kompas.com