AS & Eropa Krisis, Asing Bakal Serbu Surat Utang RI
Jakarta - Pemerintah optimistis aliran modal asing ke pasar Surat Berharga Negara akan terus meningkat di paruh kedua tahun ini seiring dengan pesimisme investor terhadap lambatnya penanganan ekonomi Amerika Serikat dan krisis utang di kawasan Eropa.
"Kemungkinan (jumlah kepemilikan SBN oleh asing) meningkat lebih besar lagi karena situasi global tidak memungkinkan investor global untuk investasi di Eropa dan Amerika Serikat," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto saat ditemui dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (26/7/2011).
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang melaporkan kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan dari total Rp 649,95 triliun. Posisinya terus bergerak naik, di mana per 22 Juli jumlahnya menjadi Rp 243,93 triliun atau 34,83% dari total Rp 700,18 triliun.
Rahmat menyatakan perlambatan ekonomi di AS masih akan berlangsung hingga akhir tahun, demikian pula dengan krisis utang di sejumlah negara Eropa. Hal itu membuat tingkat suku bunga perbankan di dua kawasan tersebut ditekan rendah sehingga kurang menarik di mata investor.
"Dalam waktu jangka menengah, belum tentu mereka bisa menyelesaikan itu (krisis) karena itu sudah sampai pada fundamental dan struktural (ekonominya). Yunani, misalnya, meski sudah ada penyelamatan, orang masih mempertanyakan bagaimana implementasi berbagai kebijakannya," jelasnya.
Rahmat menilai permasalahan utang di Eropa, tidak hanya terjadi di Yunani, tetapi sudah menjalar ke Italia, Portugal, dan Spanyol. Lembaga pemeringkat internasional seperti Moodys telah menurunkan peringkat kredit Yunani, sehingga potensi gagal bayar sangat besar di kawasan Eropa.
"Kemungkinan mereka untuk default besar sekali. Akan banyak investor yang gulung tikar. Dari pada rugi mending ke Indonesia. Jadi capital inflows masih akan berlangsung cukup besar (di paruh kedua)," ujarnya.
Namun, Rahmat menegaskan pemerintah tetap mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembalikan modal secara tiba-tiba (sudden reversal). Ada empat kebijakan antisipasi atau management protocol crisis yang disiapkan oleh pemerintah, yang dikenal dengan Bond Stabilization Framework.Pertama, melakukan operasi pasar untuk membeli kembali (buyback) obligasi negara menggunakan dana yang sudah dialokasikan dalam APBN. Kedua, pemerintah juga dimungkinkan untuk menggunakan dana menganggur (idle cash) yang dikelola oleh Kementerian Keuangan selaku bendahara umum negara.
"Saldo idle cash di Kemenkeu bergerak terus. Saya tidak pada kapasitas untuk mengungkapkan jumlahnya. Idle cash itu kan sifatnya sementara, kalau dibutuhkan akan dipakai untuk macam-macam. Jdi penggunaannya tergantung kebutuhan," jelasnya.
Ketiga, lanjut Rahmat, pemerintah bersama-sama dengan Kementerian BUMN telah menyiapkan bond stabilization fund. Yakni mengajak perusahaan-perusahaan milik negara menganggarkan dana untuk membantu buyback ketika krisis terjadi.
"Keempat atau yang terakhir, kami bisa menggunakan SAL (saldo anggaran lebih) untuk melakukan operasi pasar (buyback). Dalam APBNP 2011 diperbolehkan itu dengan seijin DPR dan harus dilaporkan dalam LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat)," jelasnya.
Menurut Rahmat, penggunaan SAL hanya bisa dilakukan pemerintah setelah kebutuhan anggaran di awal tahun serta pendanaan kegiatan jangka pendek diamankan.
"Intinya, DPR wajib menyetujui paling lambat 24 jam setelah pemerintah mengajukan permohonan penggunaan SAL," pungkasnya.