Tsunami Jepang 2011


Gempa dan tsunami sudah berkali-kali menghantam Provinsi Miyagi di Pulau Honshu, Jepang. Gempa dan tsunami setinggi 10 meter, Jumat (11/3/2011), adalah yang kelima kali tercatat. Tsunami tersebut merambat ke sebagian wilayah timur Indonesia, tetapi tidak berdampak. Sebab, ketinggiannya hanya sekitar 0,1 meter.

Menurut Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono, ”Daerah Miyagi sudah beberapa kali terjadi tsunami, sekurangnya tercatat sejak tahun 1700.”

”Setelah itu terjadi tsunami Meiji Sanriku tahun 1896, tsunami Showa Sanriku 1933, dan pada tahun 1968 terjadi lagi tsunami akibat gempa bumi Tokachi-Oki. Semua tsunami near-field (tsunami yang terjadi di dekat pantai),” kata Subandono yang meraih gelar doktor dari Tohoku University, Tohoku, Provinsi Miyagi. Tahun 1960 tsunami far-field (jauh dari pantai) menghantam Miyagi akibat gempa besar di Cile.

Setelah tsunami tahun 1933, Dewan Pencegahan Gempa Bumi Jepang menerbitkan buku metode pencegahan tsunami. Selanjutnya terus dikembangkan teknologi prakiraan tsunami, juga ilmu pengetahuan dan teknologi sistem perlindungan pantai. ”Jepang juga membangun pemecah gelombang agar dapat meredam tsunami setinggi 6 meter.” tulis Subandono dalam bukunya, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.

Ke Indonesia

Mengenai penjalaran tsunami itu, Riyadi, pengamat di Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (PGN BMKG), mengatakan, ”Ketika sampai di Omaizaki, sekitar dua jam kemudian, ketinggian air sudah menurun jadi 2,1 meter.”

Pusat Gempa Nasional merupakan salah satu simpul dari jejaring PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) yang memantau tsunami di kawasan Samudra Pasifik.

Dalam jejaring PTWC, penjalaran tsunami Honshu sebelum sampai ke Papua akan terpantau oleh beberapa alat pengukur gelombang pasang (tide gauge) di Taiwan dan Guam. Tide gauge di Indonesia ada di pesisir utara Jayapura.

Bayu Pranata, yang juga pengamat di PGN BMKG, mengatakan, tsunami dapat meningkat lagi ketinggiannya karena kondisi geografi. ”Daerah yang berupa kepulauan memungkinkan terjadinya akumulasi energi gelombang ketika masuk ke selat-selat yang dilaluinya,” kata Bayu.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Fauzi mengatakan, kerentanan tertinggi justru dialami para nelayan yang sedang di tengah laut atau di tepi pantai karena mereka akan terbawa tsunami ke arah pantai.

”Dorongan gelombang tsunami dengan gelombang laut berbeda. Gelombang tsunami akan terus-menerus membawa perahu ke pantai. Adapun gelombang laut biasa hanya membuat perahu nelayan berayun,” ujarnya.

Ditentukan region

Tentang kaitan gempa satu daerah dengan daerah lain pada satu lempeng yang sama, menurut peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Bandung, Jawa Barat, Danny Hilman Natawijaya, saat dihubungi dari Jakarta, menyatakan gempa di suatu daerah ditentukan kondisi masing-masing sumber gempa.

Pergerakan Lempeng Pasifik di Selandia Baru dan Jepang tidak akan memengaruhi pergerakan Lempeng Pasifik di Papua karena lokasinya yang jauh.

Setelah gempa 6,3 skala Richter melanda Christchurch, Selandia Baru, 22 Februari, kemarin terjadi gempa 8,9 skala Richter yang mengguncang Sanriku Oki, Jepang—keduanya berada di sisi barat Lempeng Pasifik. Meski demikian, di wilayah Indonesia yang juga terdapat Lempeng Pasifik, seperti Papua dan Maluku Utara, tidak otomatis akan terjadi gempa.

Kondisi berbeda terjadi pada gempa di Aceh, Nias, Mentawai, dan Padang beberapa waktu lalu. Daerah-daerah itu terletak pada lempeng yang sama dan jaraknya sangat berdekatan.

”Aturan umumnya, makin jauh jarak antarsumber gempa, pengaruhnya akan semakin berkurang,” katanya.

Lempeng Pasifik terbentang dari Jepang dekat Kutub Utara hingga ke dekat Kutub Selatan bumi. Meski berada dalam satu lempeng, lempeng ini memiliki banyak bagian yang masing-masing bergerak sendiri dengan arah berbeda-beda. Lempeng Pasifik di dekat Papua bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan 12 sentimeter per tahun.

”Pergerakan Lempeng Pasifik di Selandia Baru atau Jepang tidak akan membuat pergerakan Lempeng Pasifik di Papua menjadi lebih cepat atau melambat,” katanya.

Fauzi juga menjelaskan, wilayah Papua menyimpan potensi gempa besar, sama seperti pesisir barat Sumatera. Namun, kapan waktu pasti terjadinya gempa belum bisa diprediksi dengan teknologi yang ada.

Potensi gempa diprediksi sesuai dengan intensitas gempanya yang dinyatakan dengan skala Richter. Semakin tinggi skalanya, semakin kecil potensi terjadinya gempa karena energinya besar sehingga butuh waktu lebih lama untuk mengakumulasikan energi. Gempa yang diprediksi akan sering terjadi adalah yang berkekuatan 5 skala Richter ke bawah.